Sangat beruntung dianugerahkan otak yang cukup awet untuk mengingat kebadungan masa kecil. Saya bersyukur menjadi anak yang nakal, bukan jahat, aktif bukan hiperaktif. Saking kreatif dan sukses menerapkan ilmu yang diserap di sekitar, akhirnya merepotkan orang-orang rumah.
Memanah Buah pisang tetangga : bagaimana pun juga kehadiran seorang kakak sangat berperan dalam perkembangan hari-hariku. Kakak terdekatku laki-laki yang umurnya beda 5 tahun denganku. Dia mengajarkan banyak hal termasuk bagaimana membuat layangan dari tas plastik, main gundu, main petak umpet, menaikkan layangan dan main panah-panahan. Selama dia bersekolah SD, aku menghabiskan waktu sendirian menerapkan ajarannya. Kadang membuat kait pancingan dari peniti disambung dengan benang dan lidi, kadang main panah-panahan dengan lidi yang ditarik pakai karet gelang di regangkan diantara ibujari dan telunjuk. Hari itu hampir setengah sapu lidi kuhabiskan untuk memanah pisang tetangga yang masih berwarna hijau. Kebetulan buahnya lebat dan terlihat ada di balik tembok tinggi. Mungkin ada bakat jadi pemanah ya, semua lidi-lidi sapu itu tertancap pas di buah pisang. Sudah puas, kutinggalkan begitu saja. Sampai akhirnya sekitar 3 hari kemudian, aku dengar ibu ribut-ribut mengajak bapakku mengambil tangga monyet untuk memanjat tembok tetangga. Saat aku intip, mereka sibuk mengambili satu-satu lidi yang tertancap di pohon pisang itu. Bapakku dengan sarungnya seperti orang yang mau mencuri pisang, sementara ibu menunggunya di dekat tembok sambil mengumpulkan lidi-lidi itu. Tanpa merasa bersalah aku hanya bilang, apa yang kulakukan diajarkan oleh kakakku. Saat pisang-pisang itu matang menguning berbekaslah totol-totol hitam sisa tancapan lidi-lidi panahku. Syukur kepada Tuhan, aku punya orang tua yang sabar, tidak melarangku bermain ini itu dan tidak pernah marah dengan kenakalan yang kulakukan. TIdak pernah satu pun kata-kata kasar keluar dari mulut mereka, apalagi hantaman genggaman tangan atau tapak jari-jari yang menempel di pipiku, tidak pernah sama sekali.
Teknik Membakar Sampah: Meski sekarang sering bertengkar dengan kakak laki-lakiku, tapi aku tetap beruntung memiliki dia yang mengajarkan banyak hal. Tidak hanya bermain, tapi juga belajar. Bayangkan, belum SD pun aku sudah diajarkan bagaimana cara mencangkok batang bunga kembang sepatu. Caranya, kupas batangnya, ambil tanah yang subur, dipercikkan air kemudian ditampolkan di batang pohon itu lantas diiket deh pakai plastik dan tali rafia. Ada lagi teknik mambakar sampah yang aku perhatikan sejak TK. Dia mengumpulkan sampah-sampah seperti janur bekas upacara, daun-daun rontok dan dahan-dahan kering. Dia bilang, kalau mau cepet bersihkan sampah, bakarlah sampah yang kering biarkan yang masih hijau dan basah. Teori itu selalu kuingat dan kuterapkan sendiri. Saat pergi belajar kelompok, lagi-lagi aku bermain sendiri di merajan (pura keluarga di rumah). Kuperhatikan tanaman bunga kepunyaan ibu yang baru saja diminta dari tetangga. Sudah dipindahkan dari pot dan disiram tapi beberapa daunnya rontok dan kering dahannya. Itu biasa terjadi pada tanaman yang baru mendapat tempat baru. Nah, muncullah niatku untuk membersihkan halaman. Saat itu juga kuambil korek, kubakar daun-daun dan ranting kering yang masih bertengger di pohonnya. Kubiarkan dedaunan yang masih hijau dan muda. Senang rasanya berhasil memusnahkan daun kering itu dan membiarkan pohon itu dengan daun-daun muda. Keesokan harinya, ibuku marah-marah lagi memanggil kakakku dengan tuduhan pembakaran pohon bunga. Hahhahaaa… aku datang dan mengaku bahwa akulah pelakunya. Tetap ibuku tidak marah, dia sangat memaklumi niat baikku untuk bersih-bersih disana dengan membakar daun-daun dan dahan kering padahal itu bisa membuat panas pohon induknya sehingga mati keesokan harinya.
Jadi Tukang Salon: korban berikutnya adalah kakek dan nenekku. Kakekku orang yang trendi, tidak pernah membiarkan rambutnya gondrong tapi memelihara kukunya sampai melingkar. Seandainya saat itu ada jasa meni-pedi di pantai sanur, pasti dia sudah ngacir setiap minggu ke sana. Suatu hari dia membelai-belai rambut putihnya, duduk termenung di teras kamarnya sambil menunggu kedatangan kakak perempuanku. Aku bertanya dia mau apa, dia hanya menjawab mau potong rambut jadi pendek seperti tentara. Pergilah aku mengambil gunting karena kupikir apalah susahnya memotong rambut jadi pendek. Tanpa banyak Babibu, kakekku pasrah dipotong rambutnya. Ingat sekali waktu itu aku pakai gunting panjang besi-stainless yang ada tangkai kecil di lubang tempat jempol bertengger. Tak lama kuperhatikan, kenapa kepala kakekku mirip sawah bertingkat-tingkat. Ternyata susah juga meratakan rambutnya. Sampai akhirnya datang kakakku dengan mukanya yang terkaget-kaget, tapi tidak berani berteriak di mukaku. Dia membereskan rambut kakekku hingga pendeknya hampir satu senti saja. Tercapai juga keinginan kakekku punya rambut kayak tentara, hampir plontos. hehehee…
Tukang Salon Part2: nenekku rambutnya panjang, dia suka sekali kalau rambutnya kusisir. Tidak pernah komplain kalau agak keras tertarik karena kusut, dia tetap anteng membiarkan aku menyibak rambutnya yang bercampur putih dan hitam. Aku iseng bertanya, maukah rambutnya kukeriting. Kalau melihat dari sepupu yang waktu itu masih tinggal satu halaman denganku, mereka cukup memakai roll dan sisir gulung. Nah, berhubung aku tidak punya sisir gulung, sisir biasa pun jadi, toh sama-sama namanya sisir. Mulailah aku menggulung rambut panjangnya dan VOILA!! tidak bisa kembali saudara-saudara. Rambut panjangnya hampir setengah terbelit di sisir dan kusut. Sisir itu nyantol berjuntai di rambutnya, sementara aku hanya bisa memandang dan menunggu bapakku datang. Melihat kondisi nenekku diam tak berdaya dengan rambut kusut, dia mengambil gunting dan mencukur bagian kusut yang terbelit sisir. Lagi-lagi aku pergi ngeloyor begitu saja tanpa ada omelan dan cacian kasar dari nenek atau bapakku.
Betapa beruntungnya aku ada di keluarga tanpa kekerasan. Aku tumbuh menjadi anak cerdas yang belajar dari lingkungan. Sampai detik ini pun aku tetap percaya bahwa tumbuh dan berkembang dengan kemauan sendiri dengan belajar dari alam dan pengalaman adalah cara belajar yang terbaik. Tulisan ini kupersembahkan kepada Bapak di sorga, ibu, kakak-kakakku dan sekeliling yang membentukku menjadi seperti sekarang. Aku bukan orang hebat yang punya prestasi membanggakan, tapi paling tidak aku bisa merasakan bangganya menjadi orang yang memiliki masa kecil luar biasa.